Wisata Sawahlunto
Napak Tilas Peninggalan Kolonial Belanda di Sawahlunto
Koor
nyanyian rohani sayup-sayup terdengar dari gereja Santa Barbara tepat
di seberang penginapan, Heritage Ombilin Hotel, memecah kesunyian Minggu
pagi yang biasa. Memaksa saya untuk segera beranjak dari tempat tidur.
Meniatkan hati untuk segera mengukir perjalanan yang luar biasa.
Saya seperti terlempar ke dimensi waktu yang berbeda — berjalan mundur.
Pagi itu saya memulai hari dari salah satu sisa bangunan di masa
penjajahan kolonial Belanda, Heritage Ombilin Hotel. Saya sempat
terlelap nyenyak semalam di hotel ini dengan mengeluarkan biaya Rp
235.000,-/malam,
Dibangun sekitar 1918
sebagai penginapan para pejabat perusahaan tambang batubara pada saat
itu yang sedang berkunjung ke Sawahlunto, bangunan Heritage Ombilin
hotel ini pernah dialihfungsikan sebagai asrama tentara kemudian
memasuki sekitar awal abad 21 kembali menjadi penginapan.
Menarik
adalah ketika ketika menemukan brankas tua buatan London 1939 disudut
ruangan lobi hotel. Mata saya sempat menjelajahi foto-foto Sawahlunto
tempo dulu dan ragam benda tua seperti radio jadul sebelum melangkah
keluar dari penginapan ini. Memantapkan diri untuk ‘get lost’ di the little old Netherland versi Sumatra.
Metarmofosis Glamournya Emas Hitam Menuju Gairahnya Pariwisata
Menghirup
udara pagi nan segar, sebuah taman segitiga di halaman kantor pusat PT
Bukit Asam – salah satu perusahaan tambang batu bara milik negara– yang
bangunannya pun tak lepas dari arsitektur ala Belanda. Saya pun
mengarahkan kaki ke seberangan bangunan yang bernuangsa sama; kolonial
Belanda. Tertulis di plang yang terdapat di halaman bangunan tersebut,
Museum Tambang Ombilin.
Adalah dua
orang Insinyur C. De Groot dan W.H. de Grave dalam masa penjelajahan
pada 1867 lalu ketika mereka menyusuri Singkarak menemukan ratusan juta
ton emas hitam bersemayam di bumi Sawahlunto yang tak habis ditambang
selama berabad-abad. Inilah awal penambangan Ombilin mulai dilakukan di
kota yang dikelilingi oleh bukit barisan.
Lewat
cerita dari mulut si Uni, petugas museum yang menemani saya
memperhatikan beberapa artefak serta peralatan tambang yang digunakan
pada saat itu, ia pun mengungkapkan bahwa bangunan ini merupakan tempat
tinggal pejabat tambang pada masa pemerintahan kolonial.
Saya
pun menanyakan keberadaan kantor PT Bukit Asam yang masih beraktivitas
seperti lazimnya perkantoran. Sejak kemerdekaan Indonesia, pengolahan
emas hitam dikelola oleh negara. Namun, sayangnya perlahan-lahan pamor
batubara redup yang tentu berimbas pada perekonomian masyarakat
Sawahlunto.
“Kantornya
masih beraktivitas seperti biasa, tapi lebih kepada mengurus inventaris
milik PT Bukit Asam yang banyak tersebar di daerah ini,” jelas si Uni.
Menurunnya
produksi batu bata membuat geliat kota kecil ini sepi. Salah satu untuk
mengembalikan senyum kehidupan adalah lewat pariwisata termasuk
menghadirkan wisata museum batu bara ini.
Uni
pun menyatakan kepada saya bahwa museum batu bara ini baru dibuka pada
2014 lalu. “ Tempat ini kerap didatangi juga oleh mahasiswa bahkan dari
ITB sekalipun.” Oh, ya untuk bisa memasuki bangunan ini dan mengobrol
banyak dengan sang Uni, kita perlu merogoh tiket masuk seharga Rp
2.000,- .
“Salah satu pengunjung yang
pernah tinggal lama di Belanda sempat bilang, bahwa bangunan ini persis
sama dengan bangunan perumahan khas Belanda sana,” lanjut perempuan yang
mengenakan behel tersebut.
Batu bara, Orang Rantai, Gudang Ransum dan Mbah Soera
Terik
matahari tak menghentikan langkah saya untuk kembali menelusuri jalanan
kecil Sawahlunto. Sebelumnya, saya sempat menyaksikan Silo, tempat
pengolahan batu bara yang digunakan kolonial saat itu. Penemuan harta
karun emas hitam oleh dua insinyur itu memang tak disia-siakan oleh
kolonial. Bahkan pemerintahan kolonial saat itu berani berinvestasi
besar-besaran membangun infrastruktur termasuk Silo tersebut.
Keinginan
Belanda untuk mengeksploitasi hasil tambang di daerah ini mendatangkan
berbagai pekerja tambang yang awalnya diambil dari tahanan penjara Muaro
Padang dan Cipinang Batavia –Jakarta. Kekurangan tenaga pekerja juga
membuat pemerintahan kolonial membuka lowongan pekerjaan secara
besar-besaran dengan sistem kontrak. Para kuli pun berdatangan baik dari
pulau Jawa, Bali, Madura hingga Sulawesi.
Langkah
kaki saya memasuki bangunan bertulis Infobox dan lubang Mbah Soero.
Membayar karcis seharga Rp 8.000,- , saya dipersilahkan untuk melihat
dan mengamati beberapa foto aktivitas di lubang tambang batu bara.
Setelah itu, petugas menawarkan saya untuk menelusuri lubang bekas
tambang batu bara dan menyarankan untuk mengenakan helm serta sepatu
bots berbahan plastik.
Disebut lubang
Mbah Soero adalah penghormatan terhadap salah satu mandor dari pulau
Jawa yang bernama Mbah Soero yang sangat disegani saat itu. Ia dikenal
baik, sholeh dan memiliki ilmu kebatinan. Sesaat saya terpaku pada
monumen orang rantai yang terdapat di dekat lubang mbah Soero.
Orang
rantai adalah istilah untuk beberapa pekerjaan tambang yang saat itu
dianggap berbahaya oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Mereka dirantai
kaki, tangan bahkan leher sembari bekerja. Monumen ini dibangun oleh
Suparman dan anaknya, salah satu keturunan orang rantai.
Pemandu
segera menyadarkan lamunan saya tentang orang rantai, ia segera
mengajak memasuki sebuah lubang seperti gua. Temaram lampu menyambut
langkah kaki diantara jejaran anak tangga yang menurun. Penambangan di
terowongan ini terjadi sekitar tahun 1898 hingga 1932. Berdasarkan
cerita dari pemandu dalamnya kebawah hampir ratusan meter, namun untuk
kepentingan wisata bisa dinikmati sekitar 200 meter. Diresmikan pada
2008 lalu, lubang ini sudah mengalami renovasi tanpa menghilangkan
keasliannya seperti langit-langitnya yang masih terbuat dari batu bara.
Tak
jauh dari lubang Mbah Soero, terdapat sebuah komplek beberapa bangunan
khas belanda. Komplek ini digunakan sebagai dapur umum para pekerja
tambang batu bara yang berjumlah ribuan serta untuk pasien rumah sakit
pada saat itu.
Di sini ada beberapa
bangunan besar yang diantaranya berfungsi sebagai tempat makan kuli
tambang serta tempat masak dan gudang makanan. Di tempat ini ditampilan
ragam alat-alat masak yang digunakan pada saat itu, bahkan terdapat
panci berukuran jumbo. Yang menarik adalah dipamerkan replika jenis
makanan yang biasa disajikan untuk para pekerja tambang.
Lagi-lagi
sebagai penghormatan terhadap mandor yang dikenal dekat dengan para
pekerja tambang, gudang ransum ini pun diberi nama gudang ransum Mbah
Soero. Oh, ya di tempat ini, tepatnya dibagian halaman belakang terdapat
Galeri Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang menampilkan ragam
alat peraga ilmu pengetahuan sainstek.
Mak Itam, Museum Kereta Api dan Puncak Cemara
Pembangunan
kota sawahlunto tak lepas dari tangan kolonial Belanda. Untuk
memudahkan mengangkut hasil tambang batu bara menuju pelabuhan Teluk
Bayur sebelum berlayar ke benua Eropa, maka dibangunlah jalur kereta
api. Adalah Mak Itam, lokomotif uap yang masih tersisa hingga sekarang.
Mak itam bisa dikatakan saksi dari kejayaan emas hitam saat itu.
Stasiun
sebagai perberhentian kereta api saat ini dijadikan museum untuk
menarik wisatawan berkunjung ke kota kecil ini. Membayar tiket masuk
seharga Rp 2.000,- museum kereta api di Sawahlunto ini merupakan museum
kedua di Indonesia setelah Ambarawa. Ragam miniatur lokomotif uap
dipamerkan ditempat ini. Saya pun tertegun sejenak memasuki area
stasiun. Seperti terlempar ke masa lalu, ragam rongsokan gerbong kereta
api dibiarkan begitu saja.
Berbicara
tentang mak Itam, dulu sebelum potensi wisata di kota kecil ini
terpikirkan, kereta tertua ini di istirahatkan di museum Ambarawa. Namun
sejak 2005, ia dibawa kembali ke kampung halamannya. Mak Itam kerap
digunakan sebagai kereta wisata menuju Muaro Kalaban. Sayangnya, usia
tak bisa menipu, ia terbatuk-batuk dan tak berfungsi dengan baik. Untuk
beberapa event budaya, mak Itam juga kerap dihadirkan.
Sore
itu, saya mengakhiri perjalanan napak tilas kolonial Belanda di kota
tambang ini dari ketinggian Puncak Cemara. Melempar pandangan lepas pada
Sawahlunto. Menyaksikan sembari pikiran saya membayangkan seperti apa
kehidupan kota saat itu.
Lalu lalang para meneer
dan noni seperti ada dihadapan saya dengan suara deru kendaraan mereka.
Menyadarkan saya pada kemajuan kota kecil tersebut saat itu. Sawahlunto
masih menyimpan glamour kemewahan Eropa lewat bangunan-bangunan tua
yang tersisa. Berharap kota ini suatu hari kelak masuk dalam kota
warisan dunia versi UNESCO.
Menuju kota Sawahlunto
Saya
memulai perjalanan ke Kota Sawahlunto di Jum’at sore yang sibuk dari
kota Padang. Menumpangi Mini bus Malindo di kawasan Lubuk Begalung
dengan ongkos sekitar dua puluh ribuan saya diturunkan tempat di
terminal Sawahlunto.
Memakan
waktu sekitar tiga jam, saya disambut Sawahlunto yang basah usai hujan
deras. Merapat sweater yang saya kenakan, saya melangkah santai
menelusuri ruko yang berjejeran menuju hotel Ombilin. Menikmati suasana
malam yang tenang dengan senyum ramah masyarakat sana — khas Indonesia
nan ramah.
Komentar
Posting Komentar